Aku tertegun memandangi sebuah rumah bergaya modern dihadapanku. Rumah itu cukup besar
dibanding beberapa rumah yang kutempati sebelumnya. Halamannya luas dengan hamparan rumput
hijau yang hampir menutupi seluruh halaman. Di sisi kanannya terdapat kolam ikan kecil yang
mempercantik penampilan rumah itu.
"Kenapa
diam disitu Win? Ayo masuk, ini rumah baru kita,"ujar mama bergegas
memasuki rumah itu. Ditangannya ada tas besar berisi baju yang belum
sempat
terbawa kemarin, saat kami membereskan rumah yang lama. Kuharap ini adalah kepindahan kami
yang terakhir. Sebelumnya kami sering berpindah rumah, karena tuntutan pekerjaan papa.
"Ini kamar Winda, cukup luas kan? Mama membuka pintu sebuah kamar yang tertata rapi. Bau pengharum
ruangan semerbak tercium di kamar itu. " Winda suka?" Tanya mama lagi. Aku mengangguk sambil
membuka jendela kamar agar udara masuk. Dari kamar ini, aku bisa melihat kesekeliling kompleks
tempat tinggalku. Termasuk rumah tua bergaya kuno yang berada di ujung jalan setapak itu. Tiba-tiba
aku tersadar. "Kenapa hanya rumah itu yang bergaya kuno?" Pikiranku heran. Tapi segera kutepikan
pertanyaan itu. Akan kucari tahu nanti. Saat makan malam, aku menanyakan tentang rumah tua itu
pada mama. "Mama nggak tahu persis sebabnya, tapi kata warga kompleks ini, rumah itu peninggalan
seorang
bangsawan Belanda yang menolak dibongkar." "Siapa yang tinggal disitu
sekarang, ma?"tanyaku penasaran. "Katanya sih anak perempuan bangsawan
Belanda itu. Dia menikah dengan laki-laki indonesia, dan tinggal dirumah
itu bersama suaminya." "Mama pernah ketemu mereka?" tanyaku lagi.
"Belum, karena setiap mama dan papa kemari, rumah itu selalu sepi."
Jelas mama sambil menyuap nasi ke dalam mulutnya. "O ya, Win kamu masih
ingat teman papa yang tinggal deket rumah tua itu?" Tanya papa. Aku
mengangguk. Papa memang pernah mengajakku beberapa kali ke sana sebelum
kami pindah kemari. Bahkan aku cukup akrab dengan Lili, anak teman papa
itu, meski kami jarang bertemu. Tapi aku tidak pernah tertarik untuk
memperhatikan rumah tua bergaya kuno itu."Mainlah kesana sore nanti.
Lili pasti senang ketemu Winda." Kata papa lagi. Sekali lagi aku
mengangguk. Sorenya aku pergi ke rumah Lili dengan mengendarai sepeda.
Dia senang melihat kedatanganku. Kami berbicara akrab seperti dua
sahabat yang lama tidak bertemu. Tepat jam lima sore aku pamit pulang.
"Kalau ada waktu, besok sore ke sini ya? Nanti kutunjukkan koleksi
kasetku." Pesan Lili saat aku mau pulang. Lili memang penggemar berat
musik, terutama R&B. Akupun suka musik,tapi tidak segila Lili.
"Besok aku datang jam tiga sore, jangan kemana-mana, ya?" "Oke, tapi
nggak janji lho!" Lili mengacungkan telunjuknya padaku "Deal!" jawabku.
Beberapa saat kemudian, aku sudah mengayuh sepedaku menuju ke rumah.
namun saat melewati rumah tua itu, aku melihat seorang anak perempuan
berusia lima tahun tersenyum padaku. Anak cantik itu berkulit putih dah
berhidung mancung. Tapi dia memiliki mata dan rambut ciri khas Asia. Aku
berhenti sejenak dan memandangnya sambil tersenyum. Dia pun tersenyum,
sambil memperlihatkan lesung pipinya yang menggemaskan. Bocah perempuan
itu lari menuju ayunan yang terletak di samping rumah tua itu. Aku
bermaksud menghampirinya. Tapi saat aku hendak memarkir sepedaku, anak
itu sudah tidak ada disana."Mungkin dia sudah masuk kedalam rumah tua
itu." Pikirku. Lalu aku memutuskan untuk pulang saja, karena hari sudah
semakin sore, dan melupakan kejadian itu. Namun esok harinya, kejadian
yang sama terulang lagi. Bocah perempuan itu tersenyum saat melihatku
didepan rumah tua itu, lalu ia berlari menuju ayunannya. Dan saat hendak
kuhampiri, lagi-lagi dia sudah tidak ada disana. "Mungkin dia malu
bertemu aku," pikirku kemudian. "Atau. . .mungkin dia tidak mau
diganggu," Pikirku lagi.Saat kejadian itu terulang untuk keempat
kalinya, aku putuskan untuk menanyakannya pada Lili."Mungkin kamu
terlihat seram buat dia, makanya dia kabur." Ledek lili waktu itu. "Enak
saja, wajahku kan lebih cantik dari kamu." Balasku sambil tersenyum.
"Siapa bilang begitu?" Tanya Lili sambil bertolak pinggang. "Mmm. . .
siapa ya? Pacarku mungkin," Jawabku sekenanya. "Pacar dari mana?Dari
bulan?" Ledek Lili lagi. "Lho, jadi kamu belum tahu, kalau aku jadian
sama Shane Westlife?"Balasku nggak mau kalah. "Oh ya?" Bukannya kemarin
Shane juga melamarku? Waah. . . kalau gitu,kita ribal dong!" "Bener juga
ya? Kalau gitu nggak jadi deh!" Kataku lagi. "Nggak jadi pacarmu?"
tanya Lili. "Bukan, tapi gak jadi melamarmu. .ha. .ha" "Huuu. . .
dasar!" Lili memajukan bibirnya.Aku tertawa melihat tingkahnya itu.
Terkadang, Lili bisa berubah menjadi konyol. Udah sore nih, aku pulang
dulu." Pamitku pada Lili. "Hati-hati, soalnya. ." Lili terdiam. namun
beberapa saat kemudian ia menambahkan, "Aku belum pernah bertemu anak
itu." Nada suaranya terdengar aneh. Tapi aku tidak terlalu
memperdulikannya. Aku hanya ingin segera dirumah sebelum maghrib. Aku
berhenti sebentar didepan rumah tua itu. Tapi bocah perempuan itu tidak
juga muncul. Akhirnya kuputuskan untuk pulang saja. "Kita akan punya
tetangga baru." Kata mama saat kami telah selesai makan malam."Mereka
akan menempati rumah tua itu. Syukurlah, akhirnya rumah itu ada
penghuninya lagi."Mama menambahkan. "Lho, memangnya penghuni yang lama
kemana, ma?" tanyaku lagi sambil membawa piring-piring kotor ke tempat
cucian. "Mereka pindah, karena bangsawan Belanda masih
trauma
dengan kematian putri satu-satunya yang baru berusia lima tahun." Aku
terkejut mendengar penjelasan mama. "Bocah perempuan itu meninggal dunia
dalam usia muda dengan cara mengenaskan. Saat itu, dia sedang bermain
ayunan di halaman. Lantas ada buronan yang melarikan diri dari tahanan,
bersembunyi di rumah itu dan bisa kamu tebak khan. . ." komen Mama
setengah bertanya."Penjahat itu membunuhnya?" "Yap! Anak itu diketemukan
tewas mengenaskan. . ." Jantungku berdebar tak keruan dengar pengakuan
Mama. Ingin rasanya aku tak mempercayai cerita itu, tapi . . ."Kok Lili
nggak pernah cerita?" tanyaku, masih tak percaya. "Soalnya kejadian itu
khan udah lama.Saat itu Lili dan keluarganya belum pindah kemari. . ."
Mama masih bercerita panjang lebar, tapi aku sudah tidak mendengarnya
lagi. Aku terduduk lemas. Keringat dingin, membanjir. "Kalau benar anak
itu meninggal empat tahun yang lalu, berarti bocah perempuan yang sering
kulihat tiap sore itu adalah. . ." *Arm
sumber; http://sobatkitasemuanya.blogspot.com/2013/05/kisah-misteri-misteri-rumah-tua.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar