Semua orang di rumahku sudah
tahu, aku mudah sekali takut pada hal-hal sepele. Misalnya pada kecoa,
atau pada kucing kecil tetanggaku. Bahkan bila ada tamu tak dikenal
melangkah masuk ke rumahku, aku terbirit-birit berlari mencari Mama
sambil berteriak, "Mama…ada orang asing datang!" jantungku kemudian akan
berdebar kencang, keringat dingin keluar.
Anehnya… kejadian demi kejadian terus berlanjut tanpa aku bisa
mengerti mengapa aku menjadi penakut. Adik bungsuku pun gemar mengejekku
dengan nyanyian, "Mas Aver penakut… Mas Aver penakut…"
Bagaimana dengan cerita-cerita horor, film hantu, vampir…? Jangan
ditanya! Aku tak berani samasekali menontonnya. Padahal kata Pak Ustadz
Agus guru mengajiku,
"Bila kamu yakin akan keberadaan Tuhan Yang Maha Perkasa, semua
rasa takut tentu tak akan mengusik hati kita. Hati kita tidak akan
pernah gentar."
"Bahkan ada manusia-manusia terpilih yang dapat mengalahkan
ketakutan mereka seperti yang terjadi pada Nabi Sulaiman", lanjut Pak
Agus.
Sejak itu aku sering menghadiri pengajian Pak Ustadz Agus di TPA
dekat rumahku. Aku tidak peduli pada ocehan adikku tentang hantu yang
bercokol di pohon nangka di depan teras rumahku.
Ya…adikku, Aji, sering sekali berceloteh bahwa di atas pohon
nangka kami ada penunggunya. Wajahnya seram, berkepala botak, bertubuh
tinggi besar kira-kira dua meter. Katanya si penunggu itu terlihat
ngambek bila anak-anak kecil naik ke pohon itu dan mematahkan
ranitng-ranting pohon atau menggores-gores buah nangka yang belum
ranum.
"Kau pikir aku akan takut dengan cerita-cerita khayalmu itu, Aji!"
bentakku pada Aji. Tapi aku bingung juga memikirkan mengapa anak kecil
seperti Aji sudah bisa berkhayal tentang hantu yang tinggi besar dan
menakutkan. Apakah Aji benar-benar telah melihat hantu pohon nangka itu?
Atau dia hanya ingin menakut-nakutiku saja?
"Betul lo Mas Aver. Sudah berkali-kali aku melihat hantu pohon
nangka itu nongkrong di atas dahan yang berada di atas kamar Mas Aver…,"
cerita adikku suatu hari.
"Lha, mengapa si hantu tidak mengajakmu bermain?" ledekku.
"Hantu itu memang sering turun dari pohon nangka. Ia lalu
mengelilingi rumah, dan dia sepertinya tidak suka jika rumah berantakan.
Makanya kamar Mas Aver harus bersih. Gawat lo, kalau kena marah hantu!"
ancamnya. Wah, aku tertawa geli mendengar cerita Aji.
Sore yang agak mendung, membuatku merasa gerah. Musim hujan sudah
tiba rupanya. Air hujan sering membasahi halaman rumahku, sehingga udara
di bawah pohon nangka agak lembab. Harum buah nangka dan bau bakal buah
nangka sering memasuki kamarku. Aroma yang khas disukai adikku, tapi
aku tidak begitu menyukainya. Jam menunjukkan pukul 17.00. Hujan mulai
turun rintik-rintik, menambah dingin suhu kamarku. Sesaat kemudian
telepon di ruang tengah berdering, bergegas aku mengangkatnya.
"Hallo, sayang, ini Mama… Mama dan Papa tidak bisa pulang sore
ini. Nenekmu sekarang sedang dirawat di ruang gawat darurat…"
Wah, gawat nih, pikirku. Kedua orangtuaku belum pasti pulang malam
ini. Hatiku menjadi gundah, karena malam ini adalah malam Jum'at
Kliwon. Orang Jawa bilang malam yang penuh dengan hal-hal mistik.
Waktunya hantu banyak bergentayangan. Akh, imanku mulai goyah lagi.
Malam semakin larut, jam menunjukkan pukul 23.00. Mama Papa belum
juga datang. Aku dan Aji masih bangun. Karena bosan menunggu, akhirnya
Aji menyalakan televisi. Aku masih membaca buku di kamar. Belum beberapa
lama, tiba-tiba...pet! Lampu mati begitu saja, semua gelap gulita.
Aji berteriak memanggilku, akupun tidak kalah kerasnya berteriak
memanggil Aji. Kami saling bersahut-sahutan. Kami berdua amat takut pada
kegelapan. Untung saja, aku segera sadar! Masa aku harus takut pada
kegelapan?
Tiba-tiba aku teringat pada hantu pohon nangka. Apakah ia akan
muncul di kegelapan rumah kami. Tak terasa keringat dingin mengalir di
sekujur tubuhku.
"Cepat Mas, kita cari lilin…," sela Aji setelah kami saling beremu.
Brak brak…
"Aduh!" tiba-tiba setumpuk buku menimpa Aji. Adikku merintih kesakitan.
"Aduh Mas… tolong! Kepalaku sakit… berdarah Mas! Berdarah, tolong!"
"Sabar Aji, ya…ya… akan kutolong."
Aku meraba-raba dinding rumah mencari korek api. Dan tentu saja
aku harus mencari betadin karena luka Aji harus diobati. Tak berapa
lama… Byaar! Lampu menyala terang sekali. Aku amat girang! Bergegas
kuhampiri Aji. Buku-buku menumpuk berantakan di samping Aji, sementara
adikku duduk bersimpuh kesakitan di lantai. Kuamati ia dengan teliti.
"Mana lukamu? Mana darahnya?" Aku mencari-cari darah di tubuh Aji.
Akh ternayata tak ada darah setetespun yang keluar. Tak ada segores
lukapun pada tubuhnya. Aji meraba-raba dahinya yang basah akibat kena
tetesan air hujan.
"Wah, bocor…," celetuk adikku.
Kami tertawa terbaha-bahak… Namun tiba-tiba… pet ! Lampu mati kembali, … dengan terburu-buru kupeluk Aji.
"Ayo Ji, kita masuk kamar saja. Kita tidur saja…"
Terseok-seok kami berdua menuju kamar tidur, kudengar hujan di
luar agak keras. Tiupan angin malam yang menggerakkan daun nangka
terdengar jelas olehku. Bukankah sudah kukatakan dahan-dahan nangka itu
tepat berada di atas kamarku. Seer…seer, bunyi dahan pohon nangka. Kami
ingat tentang hantu pohon nangka. Tiba-tiba terdengar benda terjerembab
jatuh di dekat ranjang kami. Hii…iihh! Kupejamkan mataku. Kututup
telingaku dengan bantal, kuraih tubuh adikku, kurapatkan dekapan kami.
Detak jantung kami berdegup cepat sekali. Akhirnya kami tertidur…
Keesokkan harinya kami terbangun, jam dinding berdentang enam kali. Kuhentakkan Aji.
"Aji.. ayo bangun, kita harus sekolah! ayo cepat, nanti kesiangan…"
"Eh, Mas, apakah tadi malam kita memakai selimut ini?" tanya Aji
keheranan, sambil membukakan selimut tebal yang menyelimuti tubuh kami
berdua.
"Kurasa tidak…'kan ini selimut Mama. Mengapa ada di sini?"
Segera aku berlari keluar kamar. Ha!? Orangtuaku pun belum pulang.
Kunci kamar tamu masih tergeletak pada laci tempatnya. Aku bingung. Aji
pun bingung…
"Kalu begitu, siapa yang menyelimuti kita ya…?" Aji bertanya. Aku
memandang Aji, kami saling pandang. Lalu secara bersamaan kami berteriak
sambil berlari menuju keluar rumah.
"Hantuuuu….!!!"
"Eit, eiit…apa-apaan ini, kalian berdua…?" sekonyong-konyong
mamaku datang dari arah dapur. Saat itu juga aku lega. Lega sekali…..
sumber; http://tiga-bt.tripod.com/cerpen.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar