Suara dentingan sendok makan mewarnai suasana pagi ini, menjelang
berangkat ke sekolah aku telah terbiasa selalu sarapan. “Ibu, aku
berangkat.” Itu suara kak Indra membuatku harus cepat-cepat
menyelesaikan sarapanku. “Kakak tunggu aku!” pintaku pada kak Indra.
Namun seperti biasa kak Indra hanya menyuguhiku dengan tatapan tajam dan
dingin. Bahkan jika keadaannya sedang buruk, tak jarang ia akan
marah-marah padaku. Saat seperti itu aku terbiasa menarik nafas
dalam-dalam dan hanya menundukkan kepalaku. Di halte bis aku dan kak
Indra menunggu bis sekolah menjemput kami, aku tau ini terlalu pagi
untuk berangkat ke sekolah karena itu bis terasa lama sekali datangnya.
Aku merasa bosan sekali menunggunya. Setelah menunggu 15 menit kemudian,
senyumku berkembang ketika ku lihat bis sekolah mendekati dan berhenti
di depan kami. Sebelum melangkahkan kaki untuk masuk, aku menoleh pada
Indra. “Kak ayo naik!” kataku pada kak Indra. Kak Indra terlihat dengan
tampang malasnya melangkahkan kaki namun sejenak berhenti di sampingku.
“Jangan memanggilku kakak!” katanya ketus. Setelah itu barulah dia naik
ke bis. Dan aku, sekali lagi harus menarik nafas panjang menghadapi hal
ini.
Di sekolah, kedatangan Santi membuyarkan lamunanku. Ia menutup mataku
dari belakang, hal biasa yang selalu ia lakukan padaku. “Santi, sudah
deh jangan bersikap kekanak-kanakan begitu!” kataku. Ia kemudian
melepaskan tangannya dari mataku dan berpindah ke kursi di depanku. “Hei
Bagus Mertahadi, mukamu mengkerut apa harus ku setrika?” katanya. Ia
menyebut nama lengkapku dengan gayanya yang di buat lucu, membuatku
tersenyum melihatnya. “Gak usah Santi Nopiyanti” balasku. Aku pun
menyebut nama lengkapnya juga. Kemudian kami pun tertawa bersama.
Indra menuju ke lokernya. Dengan menekan beberapa angka, lokernya
terbuka dan ia mencari pakaian olah raganya. “Selamat pagi.” suara itu
terdengar dari loker sebelah, seorang siswi bernama Nita berdiri di
sana. Indra hanya menoleh sebentar, tanpa membalas ucapan Nita. “Apa
tadi kamu berangkat bersama adikmu lagi?” tanya Nita. “Tolong tambahkan
tiri jika kau menyebut adik padaku, dia bukan adikku” kata Indra sinis.
Tanpa menghiraukan Nita yang tampak heran Indra pergi dengan headset
tergantung di kedua telinganya.
Bagus ke luar dari kelasnya ketika jam istirahat, ia berniat untuk ke
kantin. Langkahnya terhenti ketika ia tiba-tiba ada di depan Indra.
“Kak mau ke kantin juga ya?” Tanya Bagus. “Bukan urusanmu, satu lagi aku
sudah bilang jangan memanggilku kakak!” Kemudian Indra pergi dengan
menyenggol bahu Bagus. Ia hanya bisa menunduk sedih dengan perlakuan
Indra. “Gus, jadi ke kantin?” Kedatangan Santi membuyarkan kesedihannya.
“I..ya..ya.. jadi, ” jawab Bagus lemah. Santi yang sudah tak sabar
langsung menarik tangan Bagus.
Pulang sekolah, sekelompok siswa terlihat asik sedang bermain basket.
Santi dengan santainya lewat di pinggir lapangan itu akan menuju
gerbang sekolah. Namun benda yang tak sempat ia hindari tiba-tiba
membentur kepalanya, membuatnya jatuh terduduk di lapangan. Beberapa
siswa yang sedang bermain langsung menghentikan permainannya. Indra yang
tadi melempar bola dan salah sasaran hingga mengenai Santi, cepat-cepat
menghampirinya. “Hey kamu tak apa-apa, ada yang terluka?” tanya Indra.
Ia langsung membantu Santi berdiri. “Nggak kak, aku gak apa-apa.” jawab
Santi. “Bagaimana kalau kita ke UKS saja” ajak Indra pada Santi. “Ah gak
kak, gak usah aku gak apa-apa sebaiknya aku cepat-cepat pulang saja,
permisi kak maaf sudah mengganggu permainan kalian.” Santi kemudian
langsung pergi tanpa menunggu jawaban Indra. “Hey tunggu!” teriakan itu
membuat langkah Santi terhenti. Indra mengejarnya, “ini Hp mu tadi
jatuh” kata Indra sambil menyodorkan HP pada Santi. Santi terkejut,
namun langsung mengambilnya dari tangan Indra. “Makasi kak, sekali lagi
maaf sudah membuat permainan kalian tertunda” kata Santi. “Ya tak apa,
sebaiknya lain kali jangan lewat dekat lapangan kalau sedang ada yang
bermain bola” kata Indra. Kata-kata itu sebenarnya hanya saran, namun
entah kenapa itu seperti ancaman bagi Santi. Santi kemudian pamit dan
segera pergi dari situ, ia melihat Bagus kemudian ia mendekatinya.
“Bagus kamu belum pulang?” Tanya Santi. Eh San, ini baru mau pulang kamu
sendiri kenapa belum pulang juga?” “Aku nunggu jemputan dulu, itu
bapakku” kata Santi sambil menunjuk ke sebrang jalan. “Aku duluan ya
Gus.” “Ya..ya.. sampai jumpa besok” balas Bagus.
“Bu, kak Indra belum pulang juga ya?” tanya Bagus sore itu. Ibu Sin
yang sedang membaca, melepas kacanya dan menoleh ke arah Bagus. “Belum
Gus, sudah jangan terlalu khawatirkan kakakmu!” Dia kan sudah lebih
besar darimu bisa jaga diri, nanti pasti pulang” kata Ibu Sin. “Apa dia
ada pelajaran tambahan mungkin ya?” sambung bagus. “Memangnya kamu ada
perlu sama dia Gus?” Ya bu, kakak itu kan pintar selalu juara kelas,
Bagus ingin di ajari olehnya.” “Kamu belum menyerah juga dengan
sikapnya?” “Maafkan ibu ya nak, ibu tak bisa mendidiknya supaya ia tak
benci lagi padamu” tambah Ibu Sin. “Ibu, Bagus tahu ibu sudah berusaha,
diterima menjadi anak ibu saja Bagus sudah senang, jika kakak membenci
Bagus itu wajar karena gara-gara Bagus dan ibu kandungku, ayah
meninggal.” Jawab bagus panjang lebar. “Ibu dan kak Indra jadi berpisah
dengan ayah” tambahnya lagi.
Tatapan Bagus menerawang jauh, pikirannya seakan telah berpindah pada
masa lalu. Saat ia baru berumur 5 tahun, pulang dari taman bermain
dengan ayah dan ibu kandungnya. Namun kecelakaan terjadi hingga
merenggut nyawa ayah dan ibunya. Keesokan harinya seorang ibu datang
menjemputnya di rumah sakit yang waktu itu hanya mengalami luka ringan.
Dialah ibu dari Indra yang ternyata adalah istri pertama ayahnya. Ibu
Sin menerima Bagus dengan baik, karena hubungannya dengan ibu kandung
Bagus juga baik dulunya. Namun Indra tak dapat menerima Bagus, karena
baginya Bagus dan ibunya adalah perusak kebahagiaan keluarganya. Bagus
yang waktu itu masih anak kecil, namun telah cukup mengerti apa yang
terjadi. Hingga ia sekarang SMA kelas 1 dan Indra sudah kelas 3.Sekian
lama ia berusaha mengambil hati kakaknya untuk mendapatkan kasih
sayangnya, namun belum juga berhasil.
Suara pintu depan di buka membuyarkan lamunannya, Bagus segera
berlari ke sana dan mendapati kakaknya sedang membuka sepatu. “Kak
indra, kakak baru pulang?” “Apa perlu ku buatkan minuman atau sereal?”
Tanya Bagus. Namun Bagus hanya mendapatkan tatapan tajam dari Indra.
“Jangan bersikap manis padaku, minggir!” kata Indra. “Ibu, aku pulang”
kata Indra setelah masuk ke dalam rumah. “Indra, dengarkan ibu!” Apa
salah adikmu, sampai kamu tak mau menerima sikap baiknya?” Tanya Ibu
Sin. “Apa? ibu nanya kesalahannya lagi?” Bu harus berapa kali Indra
bilang, dia itu penyebab meninggalnya ayah.” Kenapa ibu harus bertanya
lagi tentang kesalahannya, bukankah ibu sendiri sudah tau. “jawab Indra
sambil langsung bergegas ke kamarnya sebelum harus beradu mulut dengan
ibunya. “Indra dengarkan ibu nak!” “Gak bu, Indra capek” katanya dari
balik pintu. Bagus yang melihat dan mendengar semua itu hanya bisa
merasakan pedih di hatinya. Di sudut matanya tergenang air bening yang
sudah akan jatuh, namun ia sadar ia laki-laki pantang untuk menangis.
Keesokan harinya di sekolah, Indra mencari-cari Santi. Ia melihat
lambang baju Santi kemarin menunjukkan ia kelas 1. Indra pun
mencari-cari ke setiap kelas 1 dari 1A sampai 1E. Santi adalah siswi
kelas 1A namun saat itu ia belum datang, sehingga Indra tak
menemukannya. Dari gelagatnya terlihat bahwa ia suka pada Santi. Karena
tak menemukannya, Indra berniat kembali ke kelas. Tapi ketika itu juga
ia melihat Santi jalan bersama Bagus. Hatinya langsung memanas melihat
keakraban mereka tak hanya karena cemburu namun karena Bagus yang
bersama Santi jika bukan Bagus mungkin ia tak semarah ini.
Ketika pulang sekolah dan telah di rumah, Indra melampiaskan
amarahnya pada Bagus, tiap kali ia di sapa olehnya. Bagus seharian hanya
di bentak-bentak oleh Indra.
“Indra, tolong panggilkan Bagus di kamarnya, makanan sudah siap” pinta
ibunya. “Kenapa indra sih bu?” Ibu harus suruh siapa lagi, di sini cuma
ada kamu, ayolah kali ini ibu minta tolong.” Indra dengan terpaksa
melangkahkan kakinya ke kamar Bagus. Bagus yang saat itu sedang tidak
konsen belajar, mengambil foto Santi dari laci mejanya. Indra masuk
kamar tanpa mengetuknya, sehingga ia melihat Bagus yang sedang memeluk
sebuah foto. “Heh kamu di suruh turun, cepetan!” Tentu ini membuat ia
kaget, Bagus cepat-cepat menyimpan kembali foto Santi ke laci mejanya.
“Ia kak, makasi”. Ia segera berlari melewati Indra. Kesempatan ini
kemudian digunakan Indra untuk melihat foto siapa yang dipeluk Bagus.
Ternyata sesuai dugaan, itu foto Santi. Indra semakin naik darah dengan
mengetahui hal ini. Namun ia seperti mendapat ide cemerlang, ia berfikir
jika ia yang mendapatkan Santi duluan pasti Bagus akan sakit hati,
setidaknya ini akan sedikit membalas dendamnya pada Bagus. Ia meletakkan
kembali foto Santi dengan senyuman sinis menghiasi wajahnya. Kemudian
turun dan makan bersama tanpa sepatah katapun terucap darinya, ia hanya
mendengarkan saja obrolan ibu dan Bagus. Karena pikirannya telah sibuk
menyusun rencana untuk mendekati Santi agar ia lebih dulu daripada
Bagus.
Keesokan harinya di sekolah, inilah hari pertama Indra menjalankan
rencana yang ia susun semalam. Dalam waktu 1 minggu ia menargetkan Santi
sudah akan menyukainya. Karena memang dengan tampangnya yang lumayan,
Indra tak pernah kesulitan merayu gadis. Ia menunggu Santi di depan
kelasnya. Beberapa saat kemudian Santi datang dan sendirian. Indra
menyapanya dan mengingatkan Santi tentang kejadian di lapangan basket.
“Aku Indra, kamu yang waktu itu kena bola kan?” “Eh, kakak ada apa ya?
Benar itu aku.” “Kalau boleh tau namamu bener Santi?” “Ia benar, tahu
dari mana?” “Ohh, itu sih masalah gampang, bisa nanya di temen kamu.”
Hari itu Indra berhasil mendapat nomor hp Santi.
Esok harinya ia mengantar Santi pulang. Hingga berjalan beberapa hari
mereka tampak sangat dekat, begitu cepatnya semua berjalan sesuai
rencana Indra berkat teknologi hp yang membantunya. Keadaan ini membuat
Santi dan Bagus semakin jarang bersama. Meski hanya teman biasa namun
selama ini mereka sering bersama. Bagus yang memang menyimpan rasa suka
pada Santi, mulai merasakan kerenggangan di antara mereka. Untuk
mengetahui apa yang terjadi, Bagus menunggu jam pulang berniat bicara
pada Santi. Namun setelah jam pulang Santi langsung melesat keluar kelas
meninggalkan Bagus yang masih membereskan bukunya. “San.. Santi..
tunggu aku” teriak Bagus. Namun Santi yang sudah berlari telah jauh
darinya. Bagus tetap berlari mengejar, namun langkahnya berhenti ketika
melihat Santi bersama Indra. “Pantas saja beberapa hari ini kak Indra
gak naik bis” kata Bagus dalam hati. Ia sedih melihat pemandangan tadi.
Dengan langkah gontai ia menuju halte dan menunggu bis sekolah
mengantarnya pulang. Sampai di rumah pikirannya benar-benar kusut.
“Kakak dan Santi, adalah 2 orang yang sama-sama ingin ku raih hatinya,
tapi melihat kalian bersama sepertinya aku tak akan dapat kedua-duanya.”
kata Bagus lirih. Ibu Sin belum pulang kerja, tak ada orang yang bisa
diajak bicara saat ini. Bagus membenamkan kepalanya di bawah bantal,
beberapa saat kemudian ia tertidur. Ketika sore menjelang, ia terbangun
berharap beban yang ia rasakan telah hilang, namun ternyata tidak.
Kepalanya masih terasa berat dengan ingatan-ingatannya pada Santi dan
kakaknya. Namun ia memutuskan untuk turun ke ruang tamu mengira mungkin
ibunya sudah datang.Benar ibunya sudah datang, dan sedang menyulam
ketika Bagus dengan langkah gontai menuruni tangga. “Bu, sudah datang
dari tadi ya?” Eh Gus udah bangun, ia sudah dari tadi nak, kakakmu
mana?” “Maaf Bu, Bagus gak tahu kalau kakak belum pulang, Bagus kira
kakak di kamarnya,” seru Bagus. “Anak itu, beberapa hari ini sering
pulang terlambat” kata Bu Sin. Bagus ingat tadi Santi bersamanya, ia
berpikir mungkin sekarang mereka sedang bersama. Ini semakin membuatnya
sedih.
Beberapa saat kemudian Indra datang, namun tak sendiri ada seorang
gadis bersamanya. Bagus yang melihatnya langsung was-was, hatinya
berulang kali bilang jangan sampai itu Santi. Tapi memang benar itu
Santi. Indra memang sengaja membawa Santi pulang untuk menunjukkan hal
ini pada Bagus. Ibu yang melihat Indra untuk pertama kalinya membawa
gadis ke rumah bersikap ramah pada Santi. Namun Santi tak kalah terkejut
juga, ia baru tahu Bagus dan Indra kakak beradik, juga belum tahu bahwa
mereka saudara tiri. Bagus hanya bisa diam, selama Santi di rumahnya.
Sampai Santi pamit pulang dan diantar kembali oleh Indra, ia tetap diam.
“Santi cantik ya Gus, kalian satu sekolah juga kan?” “Eh, ya.. ya Bu,
Santi teman sekelasku” kata Bagus terbata-bata. “Kamu kenapa Gus,
sakit?” Tanya ibunya. “Nggak kok Bu, Bagus baik-baik saja, aku ke kamar
dulu Bu mau mandi” kata Bagus melanjutkan. “Ya, habis mandi makan dulu
baru belajar ya nak” kata ibunya. “Baik bu” kata Bagus lemah. Saat makan
bersama Indra sudah kembali dari mengantar Santi, ia tersenyum penuh
kemenangan melihat Bagus yang tampak sedih hari ini. “Gus, kamu tampak
tak selera makan, benar kamu gak sakit?’ Tanya ibunya. “Nggak kok Bu,
Bagus sehat,” katanya sambil tersenyum kearah ibunya, ia melanjutkan
makan dengan sedikit di paksakan. Malam itu Bagus mendekam di kamarnya
sampai keesokan paginya.
“Bu aku berangkat” kata Bagus. Ia bertemu Indra di teras yang sedang
memakai sepatunya. Bagus hanya diam saja, hari ini ia tak bisa berkata
apa-apa pada kakaknya tak seperti biasanya ia pasti menyapanya meski
jawabannya ia sudah tau tak pernah ramah. Indra bangkit ia sudah selesai
memakai sepatu, namun sebelum berangkat ia mendekati Bagus. “Maaf Gus,
aku mendahuluimu, sekarang Santi milikku jangan menyukainya lagi!”
sambil tersenyum sinis Indra beranjak pergi meninggalkan Bagus yang
terdiam mematung. “Kak tunggu” Bagus mengejar Indra. “Kenapa kakak tahu
perasaanku pada Santi?” Namun Indra telah melesat pergi dengan motornya.
Di sekolah, Santi cepat-cepat memasuki kelas dan mencari Bagus. “Gus
kamu kok gak pernah cerita sih kalau kamu adiknya kak Indra?” Untuk apa,
kamu juga gak pernah nanya,” jawab Bagus. “Ih.. kok gitu sih jawabnya,
kamu kan temenku biasanya sesama teman pasti cerita tentang dirinya”
“Kamu juga gak pernah cerita tentang hubungan mu dengan kak Indra San,
mungkin aku gak akan tau kalau kemarin kamu gak ke rumah” kata Bagus.
“Ya kalau itu sih aku minta maaf Gus, aku kan maunya cerita setelah aku
sama kak Indra udah pacaran 1 minggu dulu biar kejutan gitu” “Udahlah,
gak apa selamat ya,” kata Bagus.
“Kak, apa maksud kakak dengan semua ini? Kakak tahu perasaanku pada
Santi, kemudian kakak tiba-tiba pacaran sama dia, sebenarnya kakak
beneran suka gak sih sama dia?” tanya Bagus pada Indra setelah mereka di
rumah, sedangkan ibunya belum pulang kerja. Jadi mereka bebas bicara
apapun. “Bukan apa-apa, hanya sedikit senang jika kamu sakit hati” kata
Indra ketus. “Maksud kakak, Santi hanya alat buat nyakitin aku, gitu?”
Jangan permainkan Santi karena aku kak, ku mohon.” “Bilang kalau kakak
benar-benar menyukainya!” “Terserah aku, dan bukan urusanmu” jawab Indra
singkat. Sebenarnya indra memang benar-benar menyukai Santi, hanya saja
dengan membuat Bagus berpikir ia tak menyukai Santi secara tulus, tapi
hanya menggunakannya sebagai alat untuk menyakitinya, tentu akan membuat
Bagus semakin sakit, dan merasa bersalah pada Santi. Benar, Bagus
memang merasa bersalah yang sangat besar pada Santi, ia menganggap
dirinyalah penyebab Santi dipermainkan. Rasa bersalah pada santi dan
rasa sakit karena orang yang ia sukai telah jadi milik orang lain dan
itu adalah kakaknya sendiri, serta sekarang ia tau kakaknya benar-benar
menyimpan dendam padanya, semua itu membuat Bagus terus berfikir dan
akhirnya membuatnya jatuh sakit. Bagus masuk rumah sakit, ia demam
tinggi di sertai tipes.
Ibu Sin yang belum tau apa yang terjadi di antara anak-anaknya
mengganggap Bagus cuma sakit biasa. 2 minggu Bagus di rawat, belum juga
sembuh. Ibu Sin terkejut ketika dokter menyuruhnya membawakan Bagus
psikiater. Ibu Sin baru menyadari ada beban pikiran yang sangat berat
sehingga Bagus menjadi sakit. Indra yang tau penyebab Bagus sakit mulai
merasakan rasa bersalah. Ia mulai sadar dirinya sudah terlalu jahat pada
Bagus. Namun jika ia ingat ayahnya meninggal maka ia akan membenci
Bagus lagi.
Hari ini ibu Sin pulang, ia mencari Indra, meski belum tahu masalah
sebenarnya, namun Ibu Sin telah memperkirakan Bagus depresi karena Indra
membencinya. Indra yang saat itu ada di kamarnya terkejut dengan
kedatangan ibunya. “Sudah 2 minggu adikmu di RS, jenguklah dia sekali
saja, mungkin ia menunggu kedatanganmu nak.” Indra hanya terdiam
mendengar kata-kata ibunya. “Kamu tahu, ia selalu berusaha bersikap baik
padamu, kasih sayang darimu itulah yang ia rindukan. Ia tak bersalah
dalam kematian ayahmu, ia juga tak bersalah dengan pecahnya keluarga
kita. Semua adalah kesalahan ibu, ayah dan ibunya Bagus. Tak ada sangkut
pautnya dengan anak-anak, ini adalah kesalahan orang tua. Namun meski
begitu kami bertiga tetap rukun. Ibu telah menganggap ibunya Bagus
saudara, ia sangat baik pada ibu. Karena itu ibu juga menyayangi Bagus
seperti anak sendiri. Jika ayahmu meninggal, itu adalah nasib nak. Bagus
tentu juga tak ingin ayah dan ibunya meninggal. Sejak kecil ia jadi
yatim piatu, hanya kita yang ia punya. Ibu mohon jangan membencinya
lagi, ketika kita saling memaafkan maka beban akan hilang. Renungkan
kata-kata ibu nak! Kamu juga sudah dewasa untuk berpikir. Ibu harus
kembali ke RS dan mencarikan adikmu psikiater”. Indra tercengang
mendengar Bagus harus di rawat psikiater, namun ia masih terdiam sampai
ibunya pergi.
Di kamarnya, Indra merenungi kata-kata ibunya, “Bagus juga sedih
ditinggalkan ayah dan ibunya, ia yatim piatu, hanya kita yang
dimilikinya” kata-kata ibunya terus terngiang di telinganya. Itu yang
tak pernah ia pikirkan selama ini, yang ada hanya keegoisan, menganggap
diriku paling menderita, Indra mulai menangisi dirinya. Ia melihat foto
keluarganya di atas meja belajar, namun tak ada Bagus di situ, hanya ada
ia, ayah, dan ibunya. Lalu ia mengucap maaf pada kedua orang tuanya
lewat foto itu. Dan bergegas akan pergi ke RS.
Sampai di RS ia benar-benar tak sabar melihat Bagus, sampai-sampai ia
berlari-lari mencari ruangannya setelah menanyakan di administrasi. Ia
bahkan terus menangis sambil berlari, di depan pintu masuk ia terdiam
melihat Bagus yang terbaring lemah di temani ibu. Bagus terlihat sadar
namun hanya diam, psikiater yang menanganinya tak pernah mendapat
jawaban darinya. Indra semakin teriris hatinya melihat pemandangan itu,
air matanya semakin deras mengalir. dengan segenap keberaniannya ia
melangkah masuk, mendekati Bagus dan menggenggam tangannya, seakan ingin
mentransfer kehangatan kasih sayangnya untuk memulihkan Bagus. Beberapa
saat tak ada reaksi, Indra terus menangis dan memeluk Bagus tanpa
melepas tangannya. Ibu Sin juga tak kuasa menahan tangis, psikiater yang
sudah tau masalahnya dari pemberitahuan ibu Sin juga tak kuasa menahan
haru. Seisi ruangan seakan hanya di penuhi suara tangis. Beberapa saat,
Indra sadar bahwa Bagus merespon, ia meneteskan air mata meski tetap tak
bergerak. Indra berkali-kali mengucap maaf. “Aku minta maaf dan
panggillah aku kakak sesuka hatimu” begitu kata-katanya terus meluncur
seiring dengan air mata yang terus mengalir. “Dengar kata kakak Gus,
bergeraklah! Kamu boleh memeluk kakak, ku mohon” Bagus belum terlihat
bergerak, namun suara tangisnya mulai terdengar, sedikit demi sedikit ia
mulai bergerak seperti terlepas dari beban beratnya. “Kakak” suara
lemahnya mulai terdengar. Ia menyentuh wajah Indra, dan mereka
berpelukan di sertai ibu Sin juga. Beberapa saat Indra dan Bagus
dibiarkan bicara berdua saja. Setelah itu semuanya telah tampak
baik-baik saja, meski masih lemah namun Bagus sudah bisa menampakkan
senyumnya.
Keesokan harinya Santi di ajak oleh Indra menjenguk Bagus. Seperti
tak ada masalah di antara mereka, mungkin telah terjadi kesepakatan
antara kakak beradik itu. Indra yang telah mengatakan sejujurnya ia
benar-benar menyukai Santi, tak akan mempermainkannya apa lagi hanya
untuk membuat Bagus sakit hati. Bagus menerima itu dengan lapang dada,
karena ia sendiri tau jika Santi sekarang milik orang lain maka itu juga
salahnya karena ia tak pernah mengutarakan perasaannya. “Bagus
merelakan Santi untuk Kak Indra asal kakak menjaganya dengan baik” kata
Bagus. Dialog itu terjadi ketika mereka bicara berdua kemarin. Sehingga
sekarang di hadapan Santi semua tampak baik-baik saja.
3 hari kemudian Bagus boleh pulang. Dengan suasana rumah yang lebih
menyenangkan, kini keluarganya terasa lengkap dengan adanya kak Indra
yang juga telah menyayanginya. Harta yang terindah adalah keluarga,
keluarga kecil keluarga bahagia. Itulah kata-kata yang selalu terucap
dari Bagus.
sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-keluarga/kakak-sayangi-aku.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar